mine

mine
iseng iseng

Kamis, 02 Juni 2011

Inspirasi Hidup dari sang Arsitektur " Ridwan Kamil "

        Mochamad Ridwan Kamil menuliskan dirinya sebagai seorang pemimpi dan pecinta kota. Arsitek, urban designer, penulis dan dosen ini adalah pendiri Urbane, sebuah jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain terkemuka di Indonesia dan manca negara. Meski berpusat di Bandung, karya-karya Urbane bertebaran di Singapura, Bangkok, Bahrain, Beijing, Vietnam dan tentu saja Indonesia. Umumnya proyek ini berupa pengembangan kawasan perkotaan seluas 10-1000 ha, atau disebut sebagai mega proyek.
      
       Bertemu di restoran Social House, Grand Indonesia, Jakarta, yang udaranya begitu dingin. Ia tampil necis dengan jas dan rambut yang kelihatan setengah basah, meski baru saja turun dari ojek motor. “Memang agak kontradiktif ya,”katanya menyadari, “selain menghemat waktu, dengan ojek saya melihat paradog kota Jakarta. Untuk menuju gedung mewah, saya melewati kampung kumuh, menyaksikan orang berpanas-panas, higienis rumah yang tidak diperhatikan, yang seringkali menempel terus di kepala, dan saya menuliskannya di blog.” Efektivitas ini memang diperlukan bagi Ridwan yang memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung. Ia datang ke Jakarta dua kali dalam seminggu, dan menargetkan enam pertemuan dalam sehari.
Upaya keras ini dilakukannya dengan disiplin demi mematahkan tiga mitos yang selama ini mengganggu dirinya. Mitos itu adalah kalau ingin sukses harus di Jakarta, full professional dan untuk menjadi besar harus punya kantor besar. “Dari ukuran bisnis, saya buktikan. Saya tidak harus ke Jakarta. Kedua, saya tidak full professional karena sebagian patner kerja adalah dosen. Tiga, kantor saya kecil, hanya 25 orang. Untuk proyek besar, konsep saya outsourching, sehingga saya fokus di boutique design,” katanya tegas. Resep keberhasilan ini, katanya, adalah menunjukkan bahwa mereka selalu eksis kreatif dengan mengikuti berbagai sayembara desain. “Hampir 15 kali juara pertama dari tahun 2004, baik di dalam negeri maupun di luar,” ucapnya.

       Memang perlu waktu sepanjang lima belas tahun untuk mendapatkan rasa percaya dirinya. Sebelumnya, ia mengaku sangat pemalu. Dilahirkan sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dan tidak memiliki kemiripan nama dengan keempat saudaranya yang bermarga Zaman, ia acap merasa tak diperhatikan oleh orang tuanya, dan terutama ayahnya. Sebagai konsekuensi psikologis anak-anak seusianya, ia sering meluapkan amarah bawah sadarnya dengan berantem atau melakukan kebandelan khas anak-anak. Untunglah ia memiliki seorang ibu, dosen jurusan farmasi, yang bisa meredam segala gejolak emosinya.
Hobinya? Menghayal. “Setiap kali ayah keliling dari berbagai negeri dan memamerkan kota-kota melalui slide show, pikiran saya melayang, membayangkan tokoh-tokoh komik hidup di sana,” kenangnya. Ayah Ridwan adalah seorang dosen jurusan hukum. Setiap kali pulang dari luar negeri, ayahnya selalu memutar slide kota-kota yang disinggahi. Kota-kota yang indah berbeda bayangan dengan apa yang dilihat di negerinya, membuat kecintaan akan kota yang menyamankan masyarakatnya mulai muncul. Sementara itu, kecintaan pada bacaan komik telah melambungkan daya imajinasinya bak Superman melanglang buana ke berbagai kota. Terasa ada semacam keinginan bawah sadar untuk bisa menyaingi perjalanan ayahnya. Kelak kesukaan ini akan memengaruhi desain gaya Ridwan yang cukup imajinatif dan tidak konservatif.

        “Dalam perjalanan hidup, rupanya pilihan hidup saya banyak ditentukan oleh kebetulan,”ujar Ridwan tentang jurusan arsitektur yang kini melambungkan namanya. Pilihan pertamanya adalah jurusan Teknik Kimia. Ia pun lantas menetapkan hati untuk menjadi yang terbaik atas apapun kehendak yang harus diterima. Untuk itu, ia harus mencari tambahan uang saku dengan membuat ilustrasi cat air ke proyek dosen atau membuat maket. Hal ini dilakukan karena orang tuanya memberikan jatah yang sama dengan seluruh saudaranya. Padahal jurusan arsitektur membutuhkan biaya yang lebih banyak. “Sebagai orang yang terlahir dari sebuah keluarga yang memberikan baju kembar untuk kami bersaudara hanya pada hari lebaran, saya harus memutar otak.”

       Untunglah dalam dirinya sudah terdapat intuisi bisnis yang sudah diasahnya sejak duduk di bangku SD. Ia pernah jualan es mambo bikinannya sendiri di rumahnya yang terletak di sebuah lapangan sepakbola. Di sini, ia belajar bagaimana situasi sebagai peluang, sesuatu yang kelak membantunya dalam menyusun bisnisnya.  ”Kadang, saya suka menghayalkan apa yang saya bisa eksploitasi dari suasana itu dalam arti positif,” ungkapnya. Baginya, kewirausahaan merupakan hal penting dalam berbisnis. “Banyaknya kegagalan yang dialami oleh seorang arsitek itu dikarenakan mereka tidak bisa menjadi seorang enterpreneur. Enterpreneur itu butuh keberanian.”

        Keberanian itu pula yang membuat ia memutuskan untuk bertualang seusai menamatkan kuliah S1-nya di Institut Teknologi Bandung dan bekerja di belantara Amerika untuk pertama kalinya. Keberanian itu pula yang akhirnya memicunya berpikir kala empat bulan kemudian ia dipecat karena krisis moneter yang menyebabkan klien asal Indonesia tidak membayar pekerjaannya. Padahal kebanggaan saat melambaikan tangan di bandara pada orang-orang yang dicintainya masih melekat di pikirannya. Terus terang ia malu pulang. “Saya katakan pada perusahaan saya, bahwa saya akan survive sendiri. Tolong jangan bilang bahwa saya harus pulang…,”harapnya pada mantan bosnya. “Inilah titik balik dalam kehidupan saya.”

       “Saya merasa bahwa saya berubah karena dicemplungin dalam sosial budaya di Amerika dimana saya harus survive sendiri. Itu yang membuat saya harus menguatkan diri dan karakter saya karena saya mengembara,” katanya. Ia lalu meraih jenjang pendidikan lebih tinggi dengan mengambil S2 di University of California, Berkeley, Amerika Serikat melalui sebuah beasiswa. Ia ingat betul bagaimana demi bertahan hidup, ia berhemat dengan cara makan sehari sekali di resto murahan seharga 99 seni dan bekerja paruh waktu di dinas tata kota Berkeley. “Nilai-nilai hidup saya banyak lahir dari tekanan, dan nilai itu yang saya pegang dan jadikan cara bernegosiasi dalam kehidupan.” Dari Amerika, ia pindah ke Hongkong untuk bekerja.

       Setelah dirasa cukup pengalaman, ia kembali ke Indonesia dan mendirikan bendera bisnisnya sendiri (2004). Rencana baru dibangun. “Dalam empat tahun pertama, target saya membangun reputasi dari sisi komersial. Menasehati klien yang banyak uangnya untuk membuat kota yang lebih baik. Empat tahun berikutnya, ini artinya sekarang, saya fokus untuk membangun masyarakat miskin kota,” ungkap Ridwan yang begitu khawatir dengan masa depan anak-anak yang kebanyakan main di shopping mall dan time zone. Karena itulah, ia kini serius menggarap proyek CSR perusahaan besar dengan program one village one playground.  Mengapa dua rencana itu tidak dilakukan secara bersamaan, ia punya alasan. “Saya tak bisa melakukan kekumuhan dan kota secara bersamaan. Ini hanya soal pemilahan aja,”katanya.

        Bila kini ia begitu memperhatikan masyarakat miskin, ini bukan soal romantisisme atau kegenitan belaka. “Saya pernah merasakan menjadi masyarakat miskin kota,”ia mengutarakan masa kelamnya di New York. Ia diberhentikan dari tempat kerjanya, tepat pada saat sang istri akan melahirkan anak pertamanya. Hal itu terjadi karena kelalaian perusahaan tidak memperpanjang visa kerjanya, dan ia terpaksa disebut sebagai menjadi pendatang ilegal, dan tak punya pekerjaan.

        Demi mendapatkan pelayanan kesehatan, ia harus mengaku miskin kepada pemerintah setempat. Untuk itu, ia terpaksa memalsukan cek perusahaan agar dituliskan gaji sebesar 30% dari gaji sesungguhnya agar mendapat kriteria miskin karena syarat masuk ke rumah sakit miskin ia harus bekerja dengan gaji di bawah standar. “Akhirnya saya menemani istri saya melahirkan di rumah sakit khusus masyarakat miskin. Di ruangan itu, selusin ibu-ibu menjerit. Hampir belasan jam saya di sana. Stress sekali. Memori itu masih kuat hingga kini.”

       Pengalaman inilah yang terus menyadarkannya akan geliat roda kehidupan. “Mungkin kini saya tengah berada di atas, tapi alhamdulilah saya tidak akan pernah melupakan berbagai peristiwa itu. Karena banyak beruntung, maka saya menyisihkan uang kantor untuk berzakat, selain berpajak.” Ia juga mewakafkan tanah bagi penduduk miskin di sekitarnya. Kebaikan ini, katanya, sering pula dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang membuatnya gundah. “Makanya filosofi hidup saya adalah to live is to give. Nasehat dari ibu saya terbukti, semakin banyak memberi, rejeki saya semakin banyak. Saya nggak tahu secara misterius ada korelasinya. Moga-moga saya bukan termasuk orang yang pelit.”

        “Kalau orang bilang orang mati meninggalkan nama. Bagi saya, keinginan tertinggi saya adalah kalau saya mati saya meninggalkan inspirasi, ide, cerita yang orang lain akan lanjutkan.”
Hidup dalam berupa-rupa tantangan rupanya mengalir juga pada hasratnya pada wanita. “Istri saya waktu itu yang ngecengin hampir 35 orang. Tanpa sengaja, saya baca buku hariannya, dan menemukan posisi saya di urutan 36-37,”ujar Ridwan yang menyukai wanita yang memiliki wawasan luas, pandai komunikasi, bisa berbahasa Sunda dan seksi seperti Aura Kasih. Karena mendapatkan tipe itu di diri Atalia Praratya, dan tak mau kehilangan, selain tentu saja keinginan untuk menaklukkan tantangan, ia memutuskan menikah saat usianya baru 25 tahun dan belum mapan. Ia mengaku diuntungkan oleh anggapan masyarakat bahwa jurusan arsitektur memiliki prospek yang baik di mata mertuanya. “Lalu untuk calon istri saya, saya hanya memberinya mimpi-mimpi. Kalau kamu sama aku, aku pasti akan ajak kamu keliling dunia, dan dia mau, “ia lalu tertawa. “Saya tidak membual. Saya selalu punya cara untuk meraih mimpi dalam segala hal.” Bapak dua anak ini kini sudah meraih semua yang diinginkannya.
Lalu ia tiba-tiba terdiam. “Saya jadi ingat ayah. Bila dulu saya rebellious terhadap ayah, saya banyak berontak dalam hidup, setelah ayah meninggal, kangennya luar biasa. Banyak nilai dalam hidup ayah yang saya rasakan sekarang. Saya kini lebih paham ajaran ayah saya ketika saya dibenturkan dengan realita hidup sesungguhnya,” di akhir pertemuan itu ia mengenang kembali sosok sang ayah yang meninggal saat ia tengah mengerjakan tugas akhir kuliahnya. “Salah satu yang mendorong saya jadi arsitek adalah ayah, karena dia suka renovasi rumah. Mungkin dia bermimpi ingin jadi arsitek,”lanjut Ridwan yang merasa kini wajahnya menjadi sangat mirip dengan ayahnya.

        “Seandainya ayah masih hidup, mungkin ia akan bahagia melihat saya sekarang,” ucapnya. Matanya berkaca-kaca. Diam. Lama.  Lalu tangannya menuliskan status di facebook-nya dengan segera: Ridwan Kamil thinking his childhood life, I miss my late dad… (Rustika Herlambang)

Inspirasi hidup yang  sangat bagus semoga kalian bisa memetik sebuah pelajaran dari cerita ini :)